Rara Roga, Refleksi Sunyi Kesucian Jiwa
Matahari telah lama tertidur di peraduannya. Bintang-bintang bersembunyi di balik awan kelam. Burung malam telah jauh meninggalkan sarangnya. Kicauannya menyapa dedaunan yang basah sisa hujan sore hari. Angin malam mengendap-endap dalam gelap, menelisik sisi kanan-kiri tanggul Cimanuk, mencari jejak yang telah lama hilang terkubur lumpur Gunung Papandayan.
Namun, permukaan air di muara sungai Cimanuk sangat tenang. Tidak ada riak air yang bergejolak. Tidak ada turbulensi pusaran air yang besar. Apalagi banjir bandang yang menjebol tanggul dan merendam ratusan desa sepertu puluhan tahun yang silam. Malam itu hilir sungai Cimanuk sangat tenang dan teramat tenang. Seolah tidak terpengaruh dengan kebisingan dan keriuhan di atas punggungnya.
Di bawah temaram lampu Taman Cimanuk, diiringi suara gamelan, tampak gadis-gadis melenggak-lenggokan badannya dengan gemulai. Tangan dan jari-jemarinya bergerak lentur mengikuti irama gamelan. Muda-mudi berjejer rapi duduk di tanggul Cimanuk, menikmati tarian dari panggung yang mengapung di sungai Cimanuk.
Ya. Malam itu, Sabtu 24 September 2016, ada pemandangan yang berbeda di sekitar taman Cimanuk yang terletak di dekat pusat pemerintahan Kabupaten Indramayu. Pemandangan yang mencolok adalah adanya "Panggung Terapung" tepat di tengah-tengah sungai Cimanuk. Hal ini sungguh unik dan sangat artistik. Mengingat baru pertama sepanjang sejarah peringatan Hari Jadi Indramayu, pangung hiburan berada di sungai Cimanuk.
Bupati Indramayu Hj. Anna Shopanah mengatakan, panggung terapung di Sungai Cimanuk digunakan sebagai panggung hiburan bagi masyarakat dalam acara rangkaian Festival Tjimanoek 2016. "Di panggung ini ditampilkan berbagai macam pertunjukan mulai dari kesenian nusantara sampai peragaan busana batik Paoman Indramayu," katanya.
Bupati Hj. Anna berharap, keberadaan panggung terapung dapat menghibur masyarakat Indramayu dengan berbagai macam pertunjukannya. Namun orang nomor satu Indramayu itu menghimbau agar tetap hati-hati ketika sedang berada di panggung terapung, jangan sampai ada yang tergelincir atau tercebur ke sungai Cimanuk.
Jiwa Paripurna
Sementara itu, pada pertunjukan perdananya, panggung terapung menampilkan pentas seni tari nusantara. Penari berasal dari Kabupaten Indramayu yang menampilkan tari topeng kelana dari "Sanggar Mimi Rasinah" Desa Pekandangan Kec. Indramayu dan tari "Rara Roga". Sedangkan dari Sanggar Seni Simbar Kancana Kabupaten Majalengka menampilkan tarian "Susuk Simbar Kencana". Sementara dari Kota Bekasi menampilkan drama tari kontemporer dengan judul "Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu".
Tari "Rara Roga" mengisahkan perjalanan hidup manusia dalam menyatukan jiwa dan raganya menjadi manunggal menuju kesempurnaan jiwa atau insan kamil (manusia sempurna). Namun mencapai kesempurnaan jiwa apalagi mencapai taraf insane kamil tidaklah mudah. Dalam kehidupannya, tidak bisa dipungkiri, perjalanan hidup manusia tidak selalu linier. Penuh lika-liku, penuh tipu-daya, lebih mengedepankan nafsu hewani, bersifat tamak, sangat serakah, egois dan penuh angkara murka.
Perilaku negatif dalam diri manusia mengotori jiwa manusia yang suci. Padahal kehadiran manusia di muka bumi adalah sebagai wakil Tuhan yang bertugas menciptakan kedamaian dan ketentaraman pada sesamanya, memayu hayuning buana, sampai kembali pada Tuhan dalam keadaan suci dan bersih.
Tapi perjalanan manusia acapkali tidak begitu. Nafsu-nafsu yang kotor, kenikmatan hewani dan kemegahan duniawi selalu membelenggu raga dan pikiran manusia. Manusia menjadi budak dari tubuh dan pikirannya sendiri. Akalnya tumpul. Hatinya membatu. Instuisi kemanusiannya mati rasa. Akhirnya jiwa manusia semakin bebal, tenggelam dalam alam kebendaan, tersudut dalam kenistaan, derajatnya lebih rendah dari hewan, jauh dari tujuan awal diciptakannya yakni sebagai khalifah di muka bumi.
Tarian Rara Roga mengilustrasikan hal tersebut dengan sangat baik. Rara Roga adalah proses menuju kesucian jiwa guna mencapai kesempurnaan hidup. Rara Roga ditempuh melalui puasa raga dan puasa jiwa. Rara Roga meniti jalan kesunyian.
Dengan "mematikan" raga dan puasa jiwa, diharapkan manusia dapat menemukan dirinya sendiri dan makna kesejatian hidupnya, sehingga perilaku dan potensi negatif dalam diri manusia meluruh, berganti menjadi perilaku positif (akhlakul karimah). Selain itu, dengan puasa jiwa raga, diharapkan mata batin manusia menjadi tajam, kepekaan sosialnya terasah, akal pikirannya jernih, hati nuraninya bersih tak ternoda, empatinya tinggi, sehingga manusia menjadi lebih sayang dan peduli pada sesamanya, memanusiakan manusia (nguwongke).
Meski jalan yang ditempuh tidak enak bahkan terasa menyakitkan, namun proses menuju kesempurnaan jiwa haruslah ditempuh untuk meraih jiwa yang sempurna. Karena memang itulah satu-satunya jalan mencapai kesucian jiwa. Dan sungai Cimanuk yang menyimpan ribuan kisah tentang Indramayu, malam itu menjadi saksi bisu dari sepenggal kisah tentang proses belajar penyucian jiwa menuju jiwa yang paripurna. (Humas & Protokol Setda Indramayu).