KERTASMAYA 14/07/2014 - Sejumlah perajin industri rumahan bordir di
Desa Sukawera, Kecamatan Kertasemaya, terus memaksimalkan curahan
kerja selama bulan puasa ini. Pesanan konsumen sampai kebutuhan hidup
pekerja bordir membuat intensitas curahan kerja di sentra industri
tersebut meningkat selama bulan ramadan.
Rokhayati Hamzah, seorang pemilik modal industri rumahan bordir di
Desa Sukawera mengatakan, sebagian besar pekerjanya adalah tenaga
kerja lepas. Oleh sebab itu, sebagian besarnya bekerja di rumahnya
masing-masing, alih-alih berkonsentrasi di satu tempat layaknya pabrik
Hal itu juga membawa pengaruh kepada pola pembayaran upah para pekerja
lepas yang diukur berdasarkan tingkat produktivitasnya. "Jumlah
pekerja kami totalnya ada 15 orang. Mereka semua bekerja di rumah
masing-masing. Memang bila puasa tiba, konsumen yang datang ke tempat
ini lebih banyak. Jadi, kuantitas bordir yang dihasilkan juga bisa
meningkat," ujarnya.
Dia menyebutkan, dalam kondisi normal, setiap pekerja mampu untuk
menghasilkan satu buah busana muslim bordir. Sementara dalam situasi
jelang lebaran, jumlah yang dihasilkan rata-rata jadi dua pakaian per
pekerja. Adapun harga busana bordiran yang dijual rata-rata seharga Rp
100-Rp 700 ribu.
Hamzah mengatakan, kuantitas bordir yang dihasilkan oleh pekerjanya
masih tergolong sedikit bila dibandingkan dengan bordiran yang
terdapat di Tasikmalaya. Pasalnya, sebagian besar perajin di Sukawera
masih bekerja secara manual. Sementara di Tasikmalaya, sebagian
besarnya sudah dibantu oleh permesinan yang otomatis.
"Masih terkendala perkakas sebagian besar perajin di sini. Oleh sebab
itu, kami lebih memaksimalkan perkakas yang ada agar kualitas masih
bisa tetap dikejar. Dan memang tujuan utama kami adalah meningkatkan
kualitasnya agar konsumen masih tetap mendatangi tempat ini,"
tuturnya.
Pasar busana bordiran dari tempat Hamzah sebagian besarnya masih
berasal dari wilayah III Cirebon. Ada juga dari luar pulau Jawa, namun
menurut dia, jumlahnya masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan
konsumen yang berasal dari wilayah III Cirebon.
Sementara itu, pemilik modal industri bordir lainnya, Yuiti
mengatakan, salah satu faktor pendongkrak kuantitas bordir yang
dihasilkan dari tempatnya adalah karena kebutuhan pekerja itu sendiri
yang meningkat menjelang lebaran. Pola kerja di tempat Yuiti sama
dengan di tempat Hamzah.
Sebanyak 20 pekerjanya bekerja di rumah masing-masing, dan penghasilan
yang didapat akan tergantung kepada produktivitas pekerja itu sendiri.
"Para pekerja juga ingin beli bermacam-macam kebutuhan ketika puasa
dan menjelang lebaran. Mereka akan meningkatkan curahan kerjanya. Ada
yang sampai lembur untuk mendapatkan penghasilan ekstra," ujarnya.
Dia mengatakan, seluruh pekerjanya mengambil pekerjaan membordir
sebagai sampingan. Ada di antara pekerjanya yang pada siang hari
bekerja di sawah, kemudian malam harinya mengerjakan pesanan bordir.
"Saya memberikan modal berupa benang serta rancangan gambar yang
dibuat oleh anak saya. Mereka tinggal mengerjakannya saja dengan
mengikuti pola dan peralatan yang sudah disediakan," ujar perempuan
yang telah memulai usaha bordir semenjak era 1980 akhir ini.
(MA/deni/humasindramayu)
Desa Sukawera, Kecamatan Kertasemaya, terus memaksimalkan curahan
kerja selama bulan puasa ini. Pesanan konsumen sampai kebutuhan hidup
pekerja bordir membuat intensitas curahan kerja di sentra industri
tersebut meningkat selama bulan ramadan.
Rokhayati Hamzah, seorang pemilik modal industri rumahan bordir di
Desa Sukawera mengatakan, sebagian besar pekerjanya adalah tenaga
kerja lepas. Oleh sebab itu, sebagian besarnya bekerja di rumahnya
masing-masing, alih-alih berkonsentrasi di satu tempat layaknya pabrik
Hal itu juga membawa pengaruh kepada pola pembayaran upah para pekerja
lepas yang diukur berdasarkan tingkat produktivitasnya. "Jumlah
pekerja kami totalnya ada 15 orang. Mereka semua bekerja di rumah
masing-masing. Memang bila puasa tiba, konsumen yang datang ke tempat
ini lebih banyak. Jadi, kuantitas bordir yang dihasilkan juga bisa
meningkat," ujarnya.
Dia menyebutkan, dalam kondisi normal, setiap pekerja mampu untuk
menghasilkan satu buah busana muslim bordir. Sementara dalam situasi
jelang lebaran, jumlah yang dihasilkan rata-rata jadi dua pakaian per
pekerja. Adapun harga busana bordiran yang dijual rata-rata seharga Rp
100-Rp 700 ribu.
Hamzah mengatakan, kuantitas bordir yang dihasilkan oleh pekerjanya
masih tergolong sedikit bila dibandingkan dengan bordiran yang
terdapat di Tasikmalaya. Pasalnya, sebagian besar perajin di Sukawera
masih bekerja secara manual. Sementara di Tasikmalaya, sebagian
besarnya sudah dibantu oleh permesinan yang otomatis.
"Masih terkendala perkakas sebagian besar perajin di sini. Oleh sebab
itu, kami lebih memaksimalkan perkakas yang ada agar kualitas masih
bisa tetap dikejar. Dan memang tujuan utama kami adalah meningkatkan
kualitasnya agar konsumen masih tetap mendatangi tempat ini,"
tuturnya.
Pasar busana bordiran dari tempat Hamzah sebagian besarnya masih
berasal dari wilayah III Cirebon. Ada juga dari luar pulau Jawa, namun
menurut dia, jumlahnya masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan
konsumen yang berasal dari wilayah III Cirebon.
Sementara itu, pemilik modal industri bordir lainnya, Yuiti
mengatakan, salah satu faktor pendongkrak kuantitas bordir yang
dihasilkan dari tempatnya adalah karena kebutuhan pekerja itu sendiri
yang meningkat menjelang lebaran. Pola kerja di tempat Yuiti sama
dengan di tempat Hamzah.
Sebanyak 20 pekerjanya bekerja di rumah masing-masing, dan penghasilan
yang didapat akan tergantung kepada produktivitas pekerja itu sendiri.
"Para pekerja juga ingin beli bermacam-macam kebutuhan ketika puasa
dan menjelang lebaran. Mereka akan meningkatkan curahan kerjanya. Ada
yang sampai lembur untuk mendapatkan penghasilan ekstra," ujarnya.
Dia mengatakan, seluruh pekerjanya mengambil pekerjaan membordir
sebagai sampingan. Ada di antara pekerjanya yang pada siang hari
bekerja di sawah, kemudian malam harinya mengerjakan pesanan bordir.
"Saya memberikan modal berupa benang serta rancangan gambar yang
dibuat oleh anak saya. Mereka tinggal mengerjakannya saja dengan
mengikuti pola dan peralatan yang sudah disediakan," ujar perempuan
yang telah memulai usaha bordir semenjak era 1980 akhir ini.
(MA/deni/humasindramayu)