BANDUNG 29/10/2012 – Irianto M Syafiuddin alias Yance masih tersangkut kasus pembebasan lahan untuk proyek PLTU 1 di Indramayu ketika dirinya menjabat sebagai bupati Indramayu. Statusnya menjadi tersangka masih menjadi pertanyaan publik pantas tidaknya Yance mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Barat untuk pilkada 2013 mendatang.
Pakar hukum sekaligus mantan Jaksa Agung Harun Al Rasjid memiliki telaah hukum sendiri untuk menganalisa kasus yang menyeret nama Yance sebagai tersangka. Menurut Harun, kesalahan Yance pada proyek 2005 lalu, hanya pada tidak digunakannya surat keputusan yang baru. "Namun, hal tersebut sebenarnya tak perlu dipersoalkan," katanya, Ahad (28/10) malam.
Dalam hal pembebasan tanah, kata Harus, Yance sebagai bupati Indramayu tak ada sangkut pautnya. "Kalau memang dia harus jadi tersangka untuk pembebasan lahan, kenapa lima proyek lainnya juga tidak dibahas. Banyak kepala daerah juga yang menggunakan surat keputusan lama, tak jadi soal," tegas dia.
Harun menambahkan, b aik pengadaan lahan maupun anggaran yang dipergunakan, telah diaudit secara keseluruhan. Terbukti bahwa tidak ada temuan yang merugikan negara. Malahan, kata dia, bila proyek yang sedianya selesai pada 2009 tersebut tertunda, maka negara akan dirugikan sebesar Rp 27 miliar per hari karena denda penundaan.
Terkait dengan status tersangka, Harun merasa ada keanehan yang terjadi. Ini karena, ketiga anak buah Yance yang sudah dijadikan status terdakwa, tapi muncul tersangka baru tanpa adanya pemeriksaan dan penyelidikan. "Hingga saat ini, kasus ini, tak jelas arah tujuannya. Status hukum Yance pun tak berubah maupun dicabut," ucapnya.
Dalam telaah hukum Harun, juga sama dengan yang dilakukan oleh pakar hukum Unpad Agus Takariawan. Harun mengatakan, penentuan harga tanah dilakukan oleh PLN bukan oleh pemerintah kabupaten. Untuk proyek saat itu, memang tak ada tim penilai harga. "Tim penilai perlu ada tergantung kebutuhan dari mereka," ujar dia.
Harun menyatakan, ada keanehan bahwa tanah yang bermasalah tersebut semestinya disita. Tetapi hingga hari ini, tetap masih seperti biasa. Terdakwa Agus Rijoto dan lainnya, pernah berbicara akan mengembalikan uang yang telah diberikan untuk jual beli. Namun, masyarakat juga menuntut untuk dikembalikan lahannya. "Presiden ketika itu, hanya ingin Indramayu tak lagi hidup tanpa listrik, Tahun 2009 harus bebas gelap dan tak ada lagi pemadaman listrik".
Berdasarkan kasus tersebut, Harun berharap, hukum yang ada tidak dipolitisasi dan benar-benar ditegakkan. Status hukum Yance menjadi tersangka, juga dipertanyakan karena pasal yang menjeratnya tidak jelas. "Ketiga terdakwa terjerat pasal 1 dan 2 undang-undang tindak pidana korupsi juncto pasal 55 KUHP. Sedangkan Yance di sana berperan sebagai pejabat yang harusnya dikenakan pasal 3 UU Tipikor, tetapi surat dakwaan semestinya jaksa tidak bisa diubah," tegas dia.
Meskipun demikian, status tersangka bukan berarti Yance bersalah. Untuk maju menjadi gubernur pun tak ada masalah. Masyarakat, kata Harus, harus pintar menganalisa hukum. "Bahwa tersangka, hanya menjadi sebuah sangkaan yang belum pasti benar dan tidaknya," tegas dia.
Yance menginginkan kejelasan dari statusnya. Namun, hingga hari ini, belum ada pencabutan status hukum. Dari 36 saksi yang dihadirkan dalam kasus tersebut, juga tidak ada satu orang pun yang menyebutkan Yance terkait dengan kasus tersebut.
Menurut sumber tersebut, kini PLN pun masih ingin bekerja sama dengan Indramayu untuk PLTU 2 dan 3. Namun baik Yance maupun istrinya yang kini menjadi Bupati Indramayu, masih trauma untuk menerima proyek tersebut. Kata dia, Yance merasa dijebak karena kasus yang tidak jelas arah tujuannya.
Saat ini keempat pengacara Yance masih tetap menangani kasus ini. Kejelasan dalam pencabutan status tersangka masih diperjuangkan. Untuk bukti pencabutan, Yance harus menerima Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3). agus yulianto
INDRAMAYU 28/11/2012 ( www.humasindramayu.com ) – Untuk mengurangi nyawa melayang akibat over dosis konsumsi pil dextro di Kabupaten Indramayu. Dinas Kesehatan telah menyebarkan surat edaran mengenai aturan pembelian pil berwarna kuning tersebut. "Surat edaran itu saya sebarkan ke seluruh apotek, toko obat, dan puskesmas," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, Dedi Rohendi, Selasa (27/11). Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa seluruh apotek, toko obat, maupun puskesmas untuk tidak menjual pil dextro secara sembarangan. Untuk penjualan pil dextro kepada masyarakat umum, hanya bisa maksimal sepuluh butir atau dengan resep dokter. Dedi mengakui, pil dextro merupakan obat bebas yang bisa dijual secara bebas tanpa membutuhkan resep dari dokter. Namun, mengingat banyaknya penyalahgunaan pil dexro hingga menyebabkan korban berjatuhan, maka aturan itu terpaksa diterapkan. "Jika ada apoteker yang melanggar aturan itu, maka izinnya aka...